PERISTIWA SEJARAH SUPERSEMAR
SUPERSEMAR ADALAH SURAT PEMBERONTAKAN SEBELAS MARET ?
Soeharto
adalah seorang ahli strategi yang handal tetapi ia bukan seorang “grand master”
yang mampu menghitung 10-15 langkah kedepan di papan catur. Ia lebih banyak
beruntung karena piawai memanfaatan kesempetan (Dr. Asvi Waman Adam). Apakah benar “Supersemar” versi orde baru tak
lagi “Super” sehingga kita berhak menuntutnya? Disinilah kontreversi seputar
surat perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 seakan tidak pernah ada habisnya
dibicarakan. Banyak yang menggugat bahwa supersemar yang ditandatangani oleh
presiden Soekarno pada dinihari tersebut adalah surat mandat yang diberikan
kepada soehartountuk mengamankan Negara yang sedang gawat. Memang pada waktu
itu kondisi sosial-politik sedang kacau balau pasca pemberontakan G30S/PKI.
Karena itu seharusnya Soeharto menyerahkan kembali kepada presiden soekarno
setelah selesai menjalankan tugas. Namun yang terjadi justru demikian,
sekenario itu menjatuhkan presiden soekarno ternyata sudah direncanakan
matang-matang, Des Alwi – mantan anggota dewan banteng pencetus PRRI yang juga
dianggap sebagai gerakan seperatis – adalah tokoh di balik layar yang berperan
penting dalam peristiwa tersebut. Ia tidak hanya lihai dalam melakukan rekayasa
penandatanganan supersemar. Akan tetapi kepandaianya dalam mempengaruhi MPR/DPR
untuk mengangkat Soeharto sebagai presidan RI dengan menggunakan mandate yang
disalahgunakan tersebut, merupakan “strategi jitu” yang terbukti keampuannya
dalam jangka waktu yang sangat pangjang.
Penandatangan
supersemar menurut soekardjo Wilardjito SMiss, mantan pengawal soekarno, bahkan
sempat diwarnai penodongan pistol terhadap presiden soekarno. Pendapat ini
sekaligus menguatkan kebenaran suatu pendapat menyangkut pembuatan supersemar
yang tidak lain bukanlah atas inisiatif dan kemauan presiden soekarno sendiri.
Akan tetapi merupakan kehendak soeharto yang berkeinginan kuat menduduki tampuk
kekuasaan. Karena itu, tidak heran kalau kemudian soeharto maengambil jalan
pintas dengan memaksa presiden soekarno turun takhta. Periode kelam inilah yang
oleh Asvin Warman Adam (2007) disebut sebagai “Kudeta merangkak ala soeharto.”
Soeharto menjadi presiden RI melalui suatu proses yang sama sekali tidak bisa
dinalar. Suatu proses yang diawali dengan percobaan
kudeta 1 oktober 1965 yang diakhiri dengan keluarnya supersemar yang secara
de facto memberikan kekuasaan kepada
mayjen soeharto. Karena itu, 32 tahun kepeminpinan soeharto menjadi tidak abash
mengingat supersemar yang di jadikan legitmasi tidak lain adalah “supersemar”
yang tidak lagi “super”.
KUDETA MERANGKAK ALA SOEHARTO
Dengan demikian, sampai saat ini
kita tetap menyangsikan ihwal kebenaran dan keaslian Supersemar yang masih
misterius itu. Banyak pengamat sejarah yang meyakini bahwa Supersemar yang asli
itu masih ada. Adapun Supersemar versi Orde baru yang kemudian dijadikan
sebagai legitimasi kekuasaan Soeharto bukanlah Supersemar yang asli sebagaimana
yang ditandatangani oleh presiden Soekarno. Di sinilah, sekali lagi, muncul
kontroversi yang tak kunjung usai: apakah benar presiden Soekarno yang menyusun
surat itu sehingga seolah-olah Soeharto mendapatkan tugas untuk mengamankan
keadaan? Kalau memang benar bagaimana proses penyerahannya. Menurut penuturan
Wilardjito – sosok yang sempat dituduh oleh Polda DIY menyebarkan berita bohong
ihwal kesaksiannya tentang peristiwa Supersemar – awalnya Soekarno didatangi
empat Jenderal, Amir Machmud, Basuki Rahmat, M Yusuf dan M Panggabean. Mereka
datang ke istana Bogor untuk menemui presiden Soekarno. Setelah presiden
menemui keempat Jenderal itu dan bertanya ihwal kedatangannya, mereka
menyodorkan map yang berisi diktum militer, bukan diktum kepresidenan, untuk
segera ditandangani. Bahkan M. Yusuf mencabut pistol FN 46, yang juga diikuti
oleh Panggabean agar presiden mau menandtangani diktum tesebut.
Melihat kondisi presiden yang
terancam bahaya, Wilardjito sebenarnya juga mencabut pistol, namun oleh
Soekarno dilarang karena dia tidak suka ada pertumpahan darah. Akhirnya,
presiden menandatangani diktum militer tersebut. Wilardjito mengaku tidak tahu
pulpen siapa yang dipakai untuk menandatanganinya, dan dia juga tidak tahu
surat apa yang diberikan Yusuf kepada Soekarno. Menurutnya, sebelum Soekarno
menandatangani, dia sempat berkata terpaksa menyerahkan mandat kepada Soeharto,
tapi kalau situasinya sudah kembali pulih, mandatnya harus dikembalikan
kepadanya lagi. Setelah peristiwa penandatanganan yang menurutnya tidak lebih
dari 15 menit tersebut, soekarno bilang akan pergi dan berpesan agar dia
berhati-hati, lalu soekarno masuk kamar tidur. Setelah itu Wilardjito pergi
kebelakang untuk mencari anggotanya, tapi keburu ditangkap oleh satu peleton
pasukan tentara berseragam doreng dan berbaret merah, tampa tanda pengenal.
Bersama dengan 12 orang lainnya, dia digiring ke sebuah truk, lalu dilucuti dan
dibawa ke Jakarta dan dimasukkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di jalan Budi
Utomo. Setelah berada dipenjara dia mengaku tidak tahu apa yang terjadfi
selanjutnya di Istana Jakarata dan Bogor. Setelah di tahan lebih dari enam
bulan, dia baru diiterogasi Terpeda Jaya, oleh seorang CPM berpangkat mayor
yang namanya tidak diingat lagi. Dalam interogasitersebut, dia didakwa sebagai
komplotannya Kol Maulwi Saelan seorang Ajpri (Ajudan Pribadi), dia menjawab
tidak kenal Aidit. Ditanya siapa yang
menempatkannya di istana, dia menjawab Wakasad Gatot subroto, tapi justru dia
dimarahi karena mengungkit-ungkit orang yang sudah mati. Selain itu dia dituduh
PKI karena berani menodong Jendral ketika mengadap presiden. Setelah tiga tahun
di penjara dia baru memperoleh kabar bahwa yang membuat supersemar adalah Ali
Murtopo dan Alamsyah yang kemudian oleh soeharto diangkat menjadi Menteri
penerangan dan Menteri Agama. Merujuk fakta sejarah inilah, keterlibatan soeharto
sebagi factor utama dalam merekayasa Supersemar
itu sebagai “Surat Pemberontakan Sebelas
Maret” atas kebasahn soekarno sebagai presiden. keberhasilan Soeharto yang
diagung-agungkan sepanjang sejarah Orde baru. Seolah-olah pergantian kekuasaan
adalha murni berangkat dari inisiatif presiden soekarno sendiri. Padahal
setelah kepalsuan sejarah itu terbongkar, soekarno pada awal sama sekali tidak
menduga bahwa supersemar yang ditandatangnin itu ternyata disalahgunakan oleh
soeharto dan dijadikan sebagai alat delegitimasi untuk meruntuhkan kekuasaan
orde lama.
Dan disinihlah kita melihat sosok
soeharto sebagai aktor di balik terjadinya peristiwa-peristiwa bersejarah yang
telah dibengkokkan sedemikian rupa, termasuk didalamnya ada peristiwa
Supersemar yang kontroversial itu. Peristiwa Supersemar adalah tak ubahnya
“pertarungan sejarah” yang senantiasa menghasilkan kekalahan dan kemenangan.
Dalam konteks ini, soeharto adalah salah satu pihak yang keluar sebagai
pemenang, dan berhak mendapatkan gelar
sebagai “The Living Legend” sedangkan
soekarno hanya kurang beruntung karena sejatinya ia “kalah” dalam sebuah
pertarungan yang diwarnai dengan kecurangan. Kejeniusan Soeharto dalam upayanya
menggulingkan Presiden Soekarno sebenarnya hanya terletak pada kepiawaiannya
dalam memanfaatkan sekecil apa pun setiap kesempatan. Instabilitas
sosial-politik pasca serangan G30S/PKI,
misalnya dijadikan sebagai kesempatan emas untuk memaksa presiden Soekarno membuat
dan menandatangani supersemar sebagai surat mandat. Tetapi “keterpaksaan”
presiden Soekarno dalam konteks ini bukan menunjukan betapa ia sangat lemah,
tidak pandai dan kerdil dalam mengadapi serangan dari musuh yang tidak lain
adalah anak buahnya sendiri. Sebab posisi soekarno pada waktu itu benar-benar
tertekan,ditodongdan berada dalam kondisi “keterpurukan” yang memang sudah
direkayasa sebelumnya. Disituhlah kelebihan soeharto dalam memanfaatkan setiap
kesempatan yang menurutnya sangat berarti dalam proyek jangka panjang.
Membangun imperium otoritarianisme berkedok demokrasi. Kesuksesan Soeharto selama 32 tahun meminpin negeri ini
diawali dengan pertumpahan darah yang berlangsung pada 1 oktober 1965 – 11
maret 1966. Melalui kedua peristiwa dengan mudah itulah Soeharto yang
menempatkan dirinya sebagai sosok pejuang. Dia membangun image sebagai
pemberontak PKI, bahkan melalui media massa, Soeharto melakukan indroktrinasi
massal Di situlah sebenarnya “kelebihan” Soeharto dalam memanfaatkan setiap
kesempatan yang menurutnya sangat berarti dalam proyek jangka panjang: membangun
imperium otoritarianisme berkedok demokrasi. “Kesuksesan” Soeharto selama 32
tahun memimpin negeri ini diawali dengan pertumpahan darah yang berlangsung
pada 1 Oktober 1965 - 11 Maret 1966. Melalui kedua peristiwa yang dilalui
dengan “mudah” itulah Soeharto menempatkan dirinya sebagai sosok pejuang. Ia
membangun image sebagai pemberontak PKI, aktor utama di balik serangan umum 1
Maret 1949, dan lain sebagainya. Bahkan melalui media massa, Soeharto melakukan
indoktrinasi massal untuk menunjukkan kegigihannya. Sehingga rakyat pun tanpa
sadar menyebutnya sebagai “The Living Legend” atas peranannya dalam
peristiwa-peristiwa penting. Dr. Asvi Warman adam dalam Seabad Kontroversi
Sejarah (2007), mengatakan: “Kalau diperhatikan periode 1 Oktober 1965 sampai 11
Maret 1966 tampak perkembangan peristiwa yang demikian cepat dan luar biasa.
Soeharto adalah seorang ahli strategi yang handal. Tetapi ia bukan seorang
grand master yang mampu menghitung 10-15 langkah ke depan di papan catur. Ia
lebih banyak beruntung karena piawai memanfaatkan kesempatan. Bisa saja periode
6 bulan setelah peristiwa 1 Oktober 1965 itu disebut sebagai ”Kudeta
Merangkak.” Tetapi ini adalah sebah drama tanpa sutradara dan sekenario yang
ketat. Soeharto bukan dalang melainkan pemain yang mampu berimprovisasi. Demikianlah
menurut penilaian Dr. Asvi Warman Adam. Soeharto sebenarnya lebih banyak
tertolong oleh keberuntungan dan keberuntungan. Namun sayang, keberuntungan
ternyata tidak selamanya datang dan berpihak. Kasus penyalahgunaan Supersemar
akhirnya terbongkar seiring runtuhnya Soeharto dengan Orde Barunya. Soeharto
kesusahan mencari perlindungan karena tidak mungkin mengelak dari fakta sejarah
yang sesungguhnya. Walaupun sampai saat ini pengusutan terhadap kasus tersebut
kurang menunjukkan keseriusan, namun rakyat kini sudah paham bahwa Soeharto
bukanlah sosok yang patut dihormati dan dihargai sebagai “The Living Legend”.
1
Maret 1966, sejarah Indonesia mengalami titik balik. Sebuah rezim mulai runtuh.
Dan sebuah babak baru lahir. Instrumen yang mengubah sejarah itu cuma secarik
kertas, yang ditandatangani Presiden Soekarno hari itu: Surat Perintah Sebelas
Maret, biasa disingkat Supersemar. Lewat surat itu Presiden memberikan
wewenang kepada Letjen Soeharto, waktu itu Menteri Panglima Angkatan Darat,
untuk mengambil “segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan
dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi”.
Lewat surat itulah kekuasaan Presiden Soekarno mulai terkikis. Dan Jenderal Soeharto
muncul sebagai pimpinan nasional yang baru. Menjelang 11 Maret 1971 itu
Presiden Soeharto untuk pertama kali menjelaskan latar belakang dan sejarah
lahirnya Supersemar karena, katanya, rakyat Indonesia memang berhak
mengetahuinya. “Supersemar merupakan bagian sejarah yang sangat penting untuk
meluruskan kembali perjuangan bangsa dalam mempertahankan cita-cita kemerdekaan
dan memberi isi kemerdekaan,” ujarnya. Intisari penjelasan Kepala Negara: ia tidak pernah menganggap SP
11 Maret itu sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. “Surat Perintah 11 Maret
juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup secara terselubung,” katanya
tegas.
Supersemar memang peristiwa bersejarah. Ada yang
menyebutnya “tongkak sejarah Orde baru”,
atau “momentum Orde baru” presiden
soeharto sendiri menyebutnya “awal
perjauangan Orde baru”. Meski beberapa kali dilakukan usaha merekontruksikan
peristiwa itu, antara lain pada 1976 oleh pusat sejarah ABRI yang waktu itu
dipimpin Nugroho Notosusanto (almarhum), masih sering terjadi kesimpangsiuran mengenai
peristiwa penting itu. Misalnya yang terjadi pada 1982, tatkala muncul kisah
lahirnya versi Hasjim Ning, yang kemudian dibantah sendiri oleh pengusaha
tersebut. Tamapaknya belum semua hal terungkap seputar kelahiran supersemar. Bukan
cuma itu saja. Di sana-sini masih ada cerita yang tidak klop. Mungkin pelacakan
secara lengkap perlu dilakukan, mumpung masih banyak pelakunya yang masih ada. Surat
asli supersemar sendiri kabarnya hingga kini masih hialang. Maklum, di saat itu
keadaan cukup kacau hingga mungkin kesadaran mendokumentasi masih kurang.
Alkisah
Istana Bogor, Jumat 11 Maret
1966. Deru suara helikopter memecahakan keheningan Istana sekitar pukul 11.00
wib. Helikopter Bell kepresidenan mendarat di lapangan Istana. “kok siang-siang begini datang, biasanya ‘kan
sore,” pikir Ny. Hartini Soekarno sambil keluar pavilyun Istana menjemput
suaminy. Presiden soekarno setiap Jumat sore memang menginap di Istana Bogor, dan
kembali ke Istana Merdeka senin pagi. Dengan dikawal bridjen Sabur, ajudan
presiden sekaligus Komandan Resimen Cakrabirawa (satuan pengawal presiden),
Bung Karno, yang berpakaian unifrom
Istana Bogor, Jumat 11 Maret 1966. Deru suara helikopter memecah keheningan
Istana sekitar pukul 11 siang. Helikopter Bell kepresidenan mendarat di
lapangan Istana.
“Kok siang-siang begini datang, biasanya ‘kan
sore,” pikir Ny. Hartini Soekarno sambil keluar pavilyun Istana menjemput
suaminya.
Presiden Soekarno tiap Jumat sore memang menginap
di Istana Bogor, dan kembali ke Istana Merdeka Senin pagi. Dengan dikawal
Brigjen Sabur, ajudan Presiden sekaligus Komandan Resimen Cakrabirawa (satuan
pengawal presiden), Bung Karno, yang berpakaian uniform presiden warna abu-abu,
memasuki pavilyun. Ia memakai pici, dan tak lupa membawa tongkatnya.
“Pagi-pagi kok sudah ada di Bogor, Mas,”
ucap Ny. Hartini. Bung Karno, yang datang dengan muka keruh, hanya menjawab
pendek, “Tien, keadaan genting.” Soekarno kemudian masuk kamar,
berganti pakaian. Ia sembahyang lohor dan makan siang.
Menu siang itu: sayur lodeh, tahu, dan tempe — makanan
kesukaan Bung Karno. “Bapak hanya makan sedikit. Kelihatannya nafsu
makannya tidak baik,” cerita Ny. Hartini. Selesai makan siang, Soekarno
beristirahat. Saat itu sekitar pukul satu siang.
Tak lama kemudian deru helikopter yang mendarat
menggemuruh lagi. Isinya Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Subandrio dan
Waperdam III Chaerul Saleh. “Mereka menuju pavilyun saya, yang terletak di
sebelah kiri pavilyun Bung Karno, dan saya persilakan duduk. Pak Sabur datang
dan berbicara dengan mereka. Ia lalu mengantar mereka ke pavilyun yang
disediakan untuk tamu,” kata Mangil Martowidjojo, yang saat itu menjabat
Komandan Detasemen Kawal Pribadi Resimen Cakrabirawa.
Sekitar pukul 2, sebuah helikopter mendarat lagi.
Kali ini yang turun Menteri Veteran Mayjen Basoeki Rahmat, Menteri
Perindustrian Ringan Brigjen Jusuf, dan Pangdam V Jaya Brigjen Amir Machmud.
Semuanya berseragam militer. Mereka langsung menuju pavilyun tempat pengawal,
dan disambut Sabur. “Bur, kami datang ingin ketemu Bapak,” kata
Basoeki Rahmat. Sabur menjelaskan, Bung Karno sedang beristirahat. “Kalau
begitu, akan kami tunggu,” jawab Basoeki Rahmat. Seingat Ny. Hartini, Bung
Karno siang itu beristirahat sekitar dua jam.
Kira-kira pukul 14.30 (ini menurut penuturan
Jenderal Jusuf pada 1973), Sabur datang dan mengatakan Bung Karno bisa ditemui.
Ketiga jenderal itu lalu dibawa ke ruang tamu Istana yang dindingnya bercat
putih itu. Soekarno yang mengenakan celana kolor dan kaus oblong putih menerima
mereka. Raut mukanya keruh. “Mau apa kalian ke sini?” tanyanya.
Basoeki Rahmat sebagai jenderal tertua dalam rombongan itu memulai berbicara,
mewakili yang lain. “Kami sengaja datang untuk menemui Bapak untuk
menunjukkan kami tidak meninggalkan Bapak. Kami tidak ingin Bapak merasa telah
ditinggalkan oleh ABRI, oleh Angkatan Darat. Kami menyesalkan terjadinya
peristiwa pagi tadi. Tapi kami harap Bapak Presiden tidak terpengaruh oleh
kejadian itu.”
Sikap Bung Karno ternyata masih keras. “Apa?
Kau bilang aku jangan terpengaruh? Aku tidak usah gelisah? Kau mengatakan
Angkatan Darat tidak meninggalkan aku? Kalian sendiri tahu, Angkatan Darat ikut
demonstrasi. Ikut menjatuhkan saya. Kalian susupkan anggota RPKAD dan Kostrad
di antara pemuda dan mahasiswa itu. Untuk apa kalau bukan untuk menyerang
saya?”
Kemarahan Bung Karno bisa dimengerti. Pagi 11
Maret itu di Istana Negara ada sidang kabinet. Sebelum sidang dimulai, Presiden
Soekarno menanyakan pada Amir Machmud apakah situasi aman hingga sidang kabinet
bisa dilangsungkan. Pangdam V Jaya ini memberikan jaminannya bahwa situasi
aman. Namun, di tengah sidang, mendadak Brigien Sabur menyampaikan suatu nota
kepada Presiden Soekarno. Isinya ternyata laporan tentang adanya pasukan tak
dikenal, karena tak memakai tanda pengenal, meski memakai senjata, di
sekeliling Istana. Setelak berbicara dengan Subandrio, Bung Karno lalu menskors
sidang, dan menyerahkan pimpinan sidang pada Waperdam Leimena.
Rupanya, laporan tentang munculnya “pasukan liar”
itu mengguncangkan Presiden Soekarno, yang tampaknya menduga, pasukan itu
dikerahkan pihak Angkatan Darat yang menentangnya. Karena itulah ia
menghentikan sidang kabinet, meninggalkan istana, dan menuju ke helikopter,
diikuti Subandrio yang terbirit-birit hingga sepatunya tertinggal, serta
Chaerul Saleh. Bung Karno, yang mungkin merasa situasi Jakarta terlalu panas,
terbang ke Istana Bogor.
Hari-hari itu suasana Jakarta memang panas dan
bergolak. Hampir tiap hari terjadi demonstrasi KAMI dan KAPPI. Lima bulan
setelah Peristiwa G-30-S/PKI, penyelesaian politik yang dijanjikan Presiden Soekarno
belum juga terjadi. Meski kegiatan PKI telah dilarang oleh sejumlah penguasa
militer, secara resmi PKI belum dibubarkan. Sementara itu, situasi ekonomi
makin parah. Pemerintah pada 13 Desember 1965 telah memotong nilai uang dari Rp
1.000 menjadi Rp 1. Namun, harga kebutuhan hidup makin melonjak. Masyarakat
merasa gelisah. Demonstrasi-demonstrasi itu umumnya diorganisasikan KAMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang makin lama tumbuh makin besar dan
kuat. Corat-coret dan yelyel para demonstran itu keras dan menuding pemerintah:
“Turunkan harga beras”, “Singkirkan menteri-menteri yang tidak becus”, atau
“Ganyang Subandrio”. Waperdam Subandrio memang menjadi sasaran, karena ia —
yang kemudian mendapat julukan Durno — dianggap “dekat” dengan PKI. Namun,
terhadap Presiden Soekarno, para mahasiswa dan pemuda masih bersikap toleran.
Yel-yel “Hidup Bung Karno” masih diteriakkan para demonstran itu. Pada 10
Januari 1966 dicetuskanlah Tri tuntutan Rakyat (Tritura): Bubarkan PKI, Rombak
Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga.
Aksi-aksi mahasiswa dan pemuda makin menghebat.
Meski menyerang pemerintah dengan tuntutan seperti “Ritul Menteri Goblok”,
belum muncul kecaman langsung terhadap Presiden Soekarno. Para pemimpin
mahasiswa malah berkata: aksi-aksi mahasiswa itu selalu sejalan dengan
ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Bung Karno sendiri menuduh,
kerusuhan dan keguncangan yang terjadi didalangi oleh pihak kontrarevolusi dan
nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme) yang mau menjatuhkan dia. Dalam suatu
sidang kabinet di Istana Bogor pada 15 Januari 1966 dengan marah ia berseru, “Ini
Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Siapa yang mau ikut saya, ikutlah. Saya yang
bertanggung jawab pada Revolusi. Ini aku Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi.
Siapa yang senang pada Soekarno, ayo susun barisan, pertahankan, kumpulkan
barisan. Jangan bertindak liar. Tunggulah komando saya. Saya tidak mau
didongkel-dongkel dari belakang.”
Kekuasaan Presiden Soekarno saat itu memang masih
besar. Meski banyak yang tidak puas dengan sikapnya yang dianggap melindungi
PKI dengan menolak desakan untuk membubarkan partai itu, serta cara penanganan
masalah ekonomi yang payah, kedudukannya bagai tak tergoyahkan. Sebagian ABRI
waktu itu, terutama AL, AU, dan Kepolisian, mendukung dia. Karena seruan Bung
Karno, atas ajakan Subandrio dibentuklah Barisan Soekarno. Dalam pidato
radionya, Subandrio juga mengecam keras aksi-aksi mahasiswa, yang dinilainya
melampaui batas kesopanan. “Apakah perbuatan mahasiswa itu benar-benar
berasal dari mereka sendiri? Ataukah penunggangan dari musuh-musuh revolusi,
baik nekolim dari luar maupun kontrarevolusi dari dalam, yang menyelewengkan
niat baik mahasiswa kita?” katanya. Tuduhan Subandrio ini menggusarkan
mahasiswa. Serta merta Subandrio dijuluki “Anjing Peking” atau “Haji Peking”.
Meski Pepelrada Jaya sejak 16 Januari melarang
demonstrasi, para mahasiswa melawannya dengan mengirim delegasi-delegasi
menemui para pejabat. Bentrokan fisik mahasiswa yang tergabung dalam KAMI
dengan kelompok pemuda dan mahasiswa marhaen mulai terjadi di beberapa tempat.
Dengan berbagai cara, antara lain gerak jalan, pawai, atau apel siaga,
aksi-aksi pemuda dan mahaslswa berjalan terus.
Pada 21 Februari Presiden Soekarno merombak
kabinet. Susunan kabinet yang baru ternyata tidak memuaskan banyak pihak,
termasuk para mahasiswa, karena sejumlah menteri dianggap dekat atau pro-PKI
dipertahankan atau dimasukkan. Dengan dalih mengadakan “Apel Besar Kesetiaan
pada Presiden Soekarno”, pada 23 Februari KAMI menyelenggarakan demonstrasi lagi.
Tatkala berniat “menyampaikan resolusi” ke Sekretariat Negara, terjadi
bentrokan dengan petugas keamanan. Beberapa mahasiswa terluka kena tembakan.
Mahasiswa yang marah lalu merusakkan kantor Setneg.
Kamis 24 Februari 1966, Kabinet Dwikora yang
disempurnakan – yang diejek sebagai Kabinet 100 Menteri — akan dilantik. Para
mahasiswa sejak pagi buta melancarkan aksi pengempisan ban di jalan-jalan utama
Jakarta. Jakarta macet total. Pelantikan berjalan terus, meski sebagian menteri
harus dijemput dengan helikopter atau dengan berbagai cara menembus demonstrasi
yang mengepung Istana. Di tengah kegalauan itu terdengar suara tembakan.
Beberapa demonstran tertembak. Seorang di antaranya, Arief Rachman Hakim,
tewas, kena tembakan pasukan Cakrabirawa. Esoknya, upacara penguburan Arief —
yang diperlakukan sebagai martir — dilanjutkan dengan aksi unjuk perasaan.
Ratusan ribu orang memadati jalan dan menyaksikan iringan jenazah menuju
pemakaman Blok P, Kebayoran Baru. Sorenya, muncul sas-sus pasukan Cakra akan
menyerang kampus UI Salemba, yang dijadikan markas mahasiswa. Beberapa panser
Kostrad segera dikirim ke UI untuk menjaga. Para pimpinan mahasiswa dilindungi,
dan mereka, ‘antara lain Cosmas Batubara, David Napitupulu, Zamroni, Lim Bian
Kun, menginap di markas Kopur Kostrad. Yang terjadi selama aksi demonstrasi
berlangsung memang itu: para mahasiswa mendapat dukungan dan bekerja sama
dengan sebagian Angkatan Darat, terutama RPKAD dan Kostrad.
Karena itu, meski sejak 26 Februari KAMI
dibubarkan pemerintah, aksi demonstrasi menuntut pelaksanaan Tritura bisa
berjalan terus, antara lain lewat KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar
Indonesia) yang dibentuk pada 9 Februari 1966. Timbul ide di kalangan pimpinan
Kostrad untuk mengerahkan pasukan tanpa tanda pengenal di sekeliling Istana,
menurut Kepala Staf Kostrad waktu itu, Kemal Idris, guna mencoba menangkap
Subandrio serta mengawasi gerakan pasukan Cakrabirawa. Di samping itu,
pengerahan sekitar 200 orang pasukan RPKAD dan Kostrad tanpa tanda pengenal
itu,juga untuk melindungi aksi-aksi mahasiswa dan pemuda. “Pak Harto sudah
berpesan pada saya, supaya melindungi anak-anak muda tersebut dari serangan
Cakrabirawa,” ujar Kemal Idris, waktu itu Kepala Staf Kostrad. Menurut
Kemal, Jenderal Soeharto menaruh harapan pada anak-anak muda yang
mendemonstrasi kepemimpinan Bung Karno tersebut. Kemal saat itu dianggap dekat
dengan para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI. Kepala Staf Kostrad itu juga
ditugasi memimpin semua pasukan yang ada di Jakarta. “Terutama dari Angkatan
Darat, mengingat KKO dan Angkatan Udara waktu itu tidak bisa dipercaya.
Memang dari Angkatan Darat sendiri juga ada yang
terlibat G-30-S/PKI tapi bisa kami atasi,” kata Kemal. Amir Machmud, sebagai
Pangdam V Jaya, ketika itu membawahkan pasukan teritorial, tapi secara
operasional di bawah Kemal Idris. Sedangkan Umar Wirahadikusumah, sebagai
Panglima Kostrad, berada di atas Kemal. Meski dengan berbagai cara berusaha
menekan Bung Karno, menurut penegasan sejumlah tokoh AD, saat itu tidak ada
maksud Angkatan Darat untuk menjatuhkan Presiden Soekarno.
Tekanan tersebut tampaknya untuk mendesak
Presiden Soekarno agar segera melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa
G-30-S/PKI dengan secara formal membubarkan PKI. Namun, Bung Karno waktu itu
selalu mengatakan: selama keadaan dalam negeri belum lagi tenang, ia susah
untuk mengambil keputusan tentang penyelesaian politik itu. Misalnya dalam
pidatonya 23 Januari 1966, Bung Karno berkata, “Aku berulang-ulang minta
tenang, tenang, dan apa yang kita lihat dan apa yang kita saksikan? Tenang
tenang ini tidak ada, mana pula belakangan ini timbul demonstrasi macam-macam.”
Di dalam konstelasi politik saat itu, Angkatan Darat merupakan kekuatan yang
menentukan. Posisi sepuluh parpol yang ada waktu itu kurang kuat, terutama karena
sebagian besar pimpinannya dinilai pernah bekerja sama dengan PKI. Sikap mereka
ketika itu, oleh pihak mahasiswa, dianggap plintat-plintut dan menentang aksi
mahasiswa.
Pada 10 Maret, seusai pertemuan dengan Presiden
Soekarno di Istana Merdeka, misalnya, para pimpinan parpol mengeluarkan
pernyataan yang tidak bisa membenarkan cara yang digunakan pelajar, mahasiswa,
dan pemuda “yang bisa membahayakan jalannya revolusi dan merongrong kewibawaan
PBR Bung Karno.” Mereka juga bertekad bulat “untuk melaksanakan tanpa reserve”
perintah harian Presiden Soekarno 8 Maret. Perintah harian itu sendiri pada
pokoknya memerintahkan pada seluruh slagorde ABRI, parpol, Golkar, dan ormas
untuk “mempertinggi kewaspadaan menghadapi segala macam penyusupan dan hasutan
yang bermaksud memecah belah persatuan.” Di samping itu, juga “menghancurkan
segala usah yang merongrong kewibawaan, kepemimpinan dan kebijaksanaa
PBR/Presiden/Mandataris MPRS Bung Karno.” Meski begitu, sebagian kecil pimpinan
parpol, terutama yang bergabung dalam Komando Aksi Pengganyangan Gestapu,
bekerja sama dengan mahasiswa dan pemuda dan AD, menentang Presiden Soekarno.
Hingga sampailah hari itu, 11 Maret 1966. Bung
Karno, yang tampaknya panik oleh kehadiran “pasukan tak dikenal” di sekitar
Istana, menyingkir ke Bogor. Sidang kabinet kemudian dibubarkan Waperdam
Leimena. Keluar dari Istana, kebetulan Basoeki Rahmat, M. Jusuf, dan Amir
Machmud berjalan bersama. Jusuf mengajak keduanya untuk pergi menemui Bung
Karno di Bogor dan berbincang-bincang, sehingga Bung Karno tidak merasa telah
ditinggal Angkatan Darat. Keduanya bersedia. Menteri/Wakil Menko Hankam Mayjen
Mursid, yang waktu itu hadir dan ikut diajak, menolak. Menurut Amirmachmud, ia
mengusulkan agar mereka melapor dulu ke Pak Harto. Bertiga mereka kemudian
pergi ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat. Hari itu kesehatan
Pak Harto terganggu hingga tidak dapat menghadiri sidang kabinet. “Pada waktu
menghadap Pak Harto itu, kami menjelaskan jalannya sidang kabinet. Kemudian
kami meminta izin kepada Pak Harto untuk pergi ke Bogor dengan maksud untuk
menenteramkan Bung Karno,” cerita Amir Machmud. Mereka juga menanyakan apakah
Pak Harto ada pesan yang perlu disampaikan pada Bung Karno.
Menurut Amir Machmud, Pak Harto waktu itu
mengatakan, “Pertama, sampaikan salam saya kepada Bung Karno. Kedua Bung Karno
tak usah khawatir. Kita sanggup menyelamatkan Pancasila, UUD 1945,
menyelamatkan Revolusi Indonesia dan memelihara keamanan, asal diberi
kepercayaan untuk itu.” Jadi, ‘kata Amir Machmud, Pak Harto tidak pernah
membicarakan kemungkinan adanya surat perintah seperti Supersemar itu.
Sikap Soeharto kepada Soekarno waktu itu memang
menunjukkan sikap anak kepada bapak. Itu juga terlihat dari suatu dialog antara
Pak Harto, yang waktu sudah diangkat menjadi Pangkopkamtib, dan Bung Karno, di
Istana Merdeka, di awal 1966, di saat demonstrasi mahasiswa mewarnai suasana
Jakarta. Waktu itu Bung Karno menanyakan pada Pak Harto,:
“Harto, aku ini akan kamu apakan? Aku ini
pemimpinmu. Aku iki arep tok kapakke”
“Bapak Presiden,” jawab Pak Harto, “saya
ini anak petani miskin.’Tetapi ayah saya selalu mengingatkan saya untuk selalu
menghormati orang tua. Saya selalu diingatkan untuk mikul duur mendem jero
(menghormat) terhadap orangtua.”
“Bagus,” jawab Bung Karno.
“Bapak tetap saya hormati, seperti saya
menghormati orangtua saya. Bagi saya, bapak tidak hanya pemimpin bangsa, tetapi
saya anggap orangtua saya. Saya selalu ingin mikul dulaur terhadap Bapak.
Sayang, yang mau dipikul duvur mendem jero tidak mau,” kata Pak Harto.
“Betul begitu, To?”
“Betul, Pak. Insya Allah. Soalnya tergantung Bapak.”
“Nah. Kalau betul kau masih menghormati aku
dan menghargai kepemimpinanku, kuperintahkan kau menghentikan
demonstrasi-demonstrasi mahasiswa itu. Aksi-aksi mereka sudah keterlaluan.
Tidak sopan. Liar. Mereka sudah tidak sopan dan hormat kepada orang tua. Mereka
tidak bisa dibiarkan, Harto. Kau, kuminta mengambil tindakan terhadap mereka.”
“Maaf, Pak. Saya pikir, masalah ini berkenaan
dengan pembenahan negara kita secara keseluruhan. Yang saya maksud,
penyelesaian politik mengenai G-30-S/PKI seperti yang Bapak janjikan. Kalau
sekarang Bapak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa PKI dibubarkan dan
dilarang, saya percaya mahasiswa itu akan menghentikan aksi-aksinya. Karena itu
yang dituntut oleh mereka.”
“Penyelesaian politik G-30-S/PKI lagi yang
kau sebut, Harto. Kamu tadi mengatakan tetap menghormati kepemimpinanku.”
“Tak pernah goyah, Pak.”
“Kalau begitu, laksanakan perintahku,”
kata Bung Karno. Pak Harto tidak menjawab. Bung Karno juga terdiam.
Menilik dialog semacam itu, bisa dimengerti kalau
Bung Karno juga meledak-ledak ketika tiga jenderal, Basoeki Rahmat, Jusuf, dan
Amir Machmud, menemuinya, siang 11 Maret 1966 itu. Ia memarahi Amir Machmud,
yang selalu melapor bahwa keadaan aman.
“Apanya yang aman? Demonstrasi berlangsung
terus. Kau itu penanggung jawab keamanan Ibu Kota. Apa yang kau lakukan untuk
menghentikan demonstrasi itu?” Ia juga menegur Basoeki Rahmat dan Jusuf.
“Kalian juga tidak berbuat apa-apa.” Ia
menuduh ketiga jenderal itu berpura-pura, dan sebenarnya ingin agar Soekarno
jatuh.
Mereka bertiga membantah. Kata Basoeki Rahmat, “Itu
tidak benar, Pak. Tidak ada niat meninggalkan Bapak. Apalagi menjatuhkan Bapak.
Kalau ada niat seperti itu, tentu kami tidak datang kemari.” Bung Karno
terdiam. Ia kemudian menanyakan kemungkinan jalan keluar situasi. Jusuf
menyarankan agar Bung Karno memerintahkan Jenderal Soeharto untuk mengatasi
keadaan.
Amir Machmud menambah, “Ya, Pak. Tadi Pak Harto juga berpesan sanggup
mengatasi keadaan, kalau Bapak Presiden memberikan kepercayaan kepadanya.”
“Kepercayaan? Kepercayaan apa lagi yang harus
kuberikan kepadanya? Jenderal Soeharto sudah kuangkat menjadi Panglima
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Tapi coba, sampai sekarang tidak aman dan tidak
tertib,” jawab Bung Karno.
“Mungkin diperlukan kepercayaan lebih lagi, Pak,” kata Amirmachmud.
“Kepercayaan lebih bagaimana? Apa maksudmu? “
“Semacam surat perintah, misalnya,” sahut Amir Machmud. Soekarno
terdiam.
Matanya menatap tajam ketiga jenderal itu. Juga
kepada Sabur, yang ikut hadir di situ. Akhirnya Bung Karno setuju. Keempat
jenderal itu diperintahkannya membuat konsep surat perintah itu. Selembar
kertas disodorkan ke Basoeki Rahmat. Jenderal kelahiran Tuban, Ja-Tim, yang
dikenal pendiam itu lalu mengeluarkan pena. Ia mengucapkan “Bismillahirrochmanirrohim”
lalu mulai menulis.
Surat Perintah. Itu kalimat
pertama yang ditulisnya. Konsep itu kemudian disampaikan Sabur kapada Bung
Karno. Ia lalu memanggil ketiga Waperdam, Subandrio, Leimena, dan Chaerul
Saleh, yang sudah ada di Istana Bogor, dan menanyakan pendapat mereka. Hanya
Subandrio yang menjawab, “Kalau Bapak tanda tangani, buntutnya akan
panjang.” Mungkin karena tidak memperoleh kesepakatan bulat di antara para
pembantu dekatnya, Bung Karno masuk ke kamar kerjanya. Waktu itu ia sudah
memakai piyama biru dan memakai sandal Bata warna cokelat. Konon, ia sempat
sembahyang. Sekitar satu jam Soekarno berada di kamar kerjanya. Setelah satu
jam, konsep awal tadi sudah ada coretannya, dan dikembalikan kepada ketiga
jenderal tersebut. Basoeki Rahmat kembali membuat konsep baru, yang kemudian
disampaikan Sabur kepada Bung Karno.
Akhirnya mereka berkumpul lagi di salah satu
ruangan yang lebih besar.Pada pertemuan ini, Bung Karno telah memakai pakaian lengkap,
baju putih. Lengan pendek, celana abu-abu, dan memakai pici. Yang hadir: ketiga
jenderal tadi, tiga waperdam, dan Sabur yang tetap berdiri. Suasana agak
tegang. Hasil rembukan itu diketik Sabur dengan kertas yang berkop Kepresidenan
RI. Akhirnya mereka berkumpul di ruang makan Istana. Bung Karno membaca ketikan
konsep yang telah disetujui bersama. “Bagaimana, Ban, kau setuju?”
tanya Bung Karno pada Subandrio. “Kalau Bapak Presiden sudah setuju, saya
setuju,” jawab yang ditanya. Bung Karno kemudian menandatangani surat
perintah yang kemudian sangat terkenal itu.
Setelah itu mereka kembali ke pavilyun Istana. Di
ruang tamu, mereka mengobrol sejenak. Bung Karno didampingi Hartini duduk di
sofa panjang, sedang ketiga jenderal duduk di depan mereka. Leimena duduk di
sebelah kiri Bung Karno, sedang Subandrio dan Chaerul Saleh duduk di kanan
Hartini. Sabur tetap berdiri. Di ruangan yang tak berjendela itu, semua
pintunya dibuka. Muka-muka yang hadir tampak serius. Tak berapa lama, ketiga
jenderal itu mohon diri, memberi hormat dan kemudian bersalaman dengan Bung
Karno. Sepulang ketiga jenderal itu, Soekarno masih sempat membaca di ruang
tamu.
Sekitar pukul 23.00 ia masuk kamar tidur. Di
kamar tidur ia masih juga sempat membaca majalah Selecta. Tapi ia tampak
gelisah. Sampai pukul 1.00 ia belum tertidur. “Bapak membolak-balikkan
badannya ke kiri, ke kanan,” kata Ny. Hartini mengenang. Setelah minum
obat tidur, barulah Bung Karno terlelap.
Dalam perjalanan pulang dari Bogor dengan naik
mobil, ketiga jenderal itu sempat membaca kembali Supersemar dengan menggunakan
senter. Ketiganya kaget setelah menyadari surat perintah itu berarti penyerahan
kekuasaan Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Supersemar memang berisi
pelimpahan wewenang kepada Jenderal Soeharto “untuk mengambil segala tindakan
yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan
jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi
dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Pangti/PBR/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan
bangsa dan negara RI, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran PBR”. Esoknya, Jenderal Soeharto, atas nama Presiden,
mengeluarkan perintah harian kepada segenap jajaran ABRI dan mengumumkan
kelahiran Supersemar. Perintah harian itu lalu disusul dengan Keputusan
Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS/PBR Nomor 1/3/1966. Isinya: membubarkan
PKI termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah
serta semua organisasi yang seasas/berlindung/bernaung di bawahnya. PKI juga
dinyatakan sebagai organisasi terlarang di seluruh RI. Akhirnya tuntutan rakyat
agar PKI dibubarkan terlaksana. Berita itu segera tersebar. Bukti bahwa
masyarakat menyambut gembira keputusan itu terlihat dari sambutan massa
terhadap pawai kemenangan yang terjadi 12 Maret 1966 itu. Masyarakat di seluruh
Indonesia juga menyambut meriah keputusan itu. Dan awal sebuah sejarah baru pun
dimulai.