Rabu, 03 April 2013





  PERISTIWA SEJARAH SUPERSEMAR

 SUPERSEMAR ADALAH SURAT PEMBERONTAKAN SEBELAS MARET ?


dibalik supersemar

Soeharto adalah seorang ahli strategi yang handal tetapi ia bukan seorang “grand master” yang mampu menghitung 10-15 langkah kedepan di papan catur. Ia lebih banyak beruntung karena piawai memanfaatan kesempetan (Dr. Asvi Waman Adam).  Apakah benar “Supersemar” versi orde baru tak lagi “Super” sehingga kita berhak menuntutnya? Disinilah kontreversi seputar surat perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 seakan tidak pernah ada habisnya dibicarakan. Banyak yang menggugat bahwa supersemar yang ditandatangani oleh presiden Soekarno pada dinihari tersebut adalah surat mandat yang diberikan kepada soehartountuk mengamankan Negara yang sedang gawat. Memang pada waktu itu kondisi sosial-politik sedang kacau balau pasca pemberontakan G30S/PKI. Karena itu seharusnya Soeharto menyerahkan kembali kepada presiden soekarno setelah selesai menjalankan tugas. Namun yang terjadi justru demikian, sekenario itu menjatuhkan presiden soekarno ternyata sudah direncanakan matang-matang, Des Alwi – mantan anggota dewan banteng pencetus PRRI yang juga dianggap sebagai gerakan seperatis – adalah tokoh di balik layar yang berperan penting dalam peristiwa tersebut. Ia tidak hanya lihai dalam melakukan rekayasa penandatanganan supersemar. Akan tetapi kepandaianya dalam mempengaruhi MPR/DPR untuk mengangkat Soeharto sebagai presidan RI dengan menggunakan mandate yang disalahgunakan tersebut, merupakan “strategi jitu” yang terbukti keampuannya dalam jangka waktu yang sangat pangjang.

Penandatangan supersemar menurut soekardjo Wilardjito SMiss, mantan pengawal soekarno, bahkan sempat diwarnai penodongan pistol terhadap presiden soekarno. Pendapat ini sekaligus menguatkan kebenaran suatu pendapat menyangkut pembuatan supersemar yang tidak lain bukanlah atas inisiatif dan kemauan presiden soekarno sendiri. Akan tetapi merupakan kehendak soeharto yang berkeinginan kuat menduduki tampuk kekuasaan. Karena itu, tidak heran kalau kemudian soeharto maengambil jalan pintas dengan memaksa presiden soekarno turun takhta. Periode kelam inilah yang oleh Asvin Warman Adam (2007) disebut sebagai “Kudeta merangkak ala soeharto.” Soeharto menjadi presiden RI melalui suatu proses yang sama sekali tidak bisa dinalar. Suatu proses yang diawali dengan percobaan kudeta 1 oktober 1965 yang diakhiri dengan keluarnya supersemar yang secara de facto memberikan kekuasaan kepada mayjen soeharto. Karena itu, 32 tahun kepeminpinan soeharto menjadi tidak abash mengingat supersemar yang di jadikan legitmasi tidak lain adalah “supersemar” yang tidak lagi “super”.

 

KUDETA MERANGKAK ALA SOEHARTO

Dengan demikian, sampai saat ini kita tetap menyangsikan ihwal kebenaran dan keaslian Supersemar yang masih misterius itu. Banyak pengamat sejarah yang meyakini bahwa Supersemar yang asli itu masih ada. Adapun Supersemar versi Orde baru yang kemudian dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan Soeharto bukanlah Supersemar yang asli sebagaimana yang ditandatangani oleh presiden Soekarno. Di sinilah, sekali lagi, muncul kontroversi yang tak kunjung usai: apakah benar presiden Soekarno yang menyusun surat itu sehingga seolah-olah Soeharto mendapatkan tugas untuk mengamankan keadaan? Kalau memang benar bagaimana proses penyerahannya. Menurut penuturan Wilardjito – sosok yang sempat dituduh oleh Polda DIY menyebarkan berita bohong ihwal kesaksiannya tentang peristiwa Supersemar – awalnya Soekarno didatangi empat Jenderal, Amir Machmud, Basuki Rahmat, M Yusuf dan M Panggabean. Mereka datang ke istana Bogor untuk menemui presiden Soekarno. Setelah presiden menemui keempat Jenderal itu dan bertanya ihwal kedatangannya, mereka menyodorkan map yang berisi diktum militer, bukan diktum kepresidenan, untuk segera ditandangani. Bahkan M. Yusuf mencabut pistol FN 46, yang juga diikuti oleh Panggabean agar presiden mau menandtangani diktum tesebut.

Melihat kondisi presiden yang terancam bahaya, Wilardjito sebenarnya juga mencabut pistol, namun oleh Soekarno dilarang karena dia tidak suka ada pertumpahan darah. Akhirnya, presiden menandatangani diktum militer tersebut. Wilardjito mengaku tidak tahu pulpen siapa yang dipakai untuk menandatanganinya, dan dia juga tidak tahu surat apa yang diberikan Yusuf kepada Soekarno. Menurutnya, sebelum Soekarno menandatangani, dia sempat berkata terpaksa menyerahkan mandat kepada Soeharto, tapi kalau situasinya sudah kembali pulih, mandatnya harus dikembalikan kepadanya lagi. Setelah peristiwa penandatanganan yang menurutnya tidak lebih dari 15 menit tersebut, soekarno bilang akan pergi dan berpesan agar dia berhati-hati, lalu soekarno masuk kamar tidur. Setelah itu Wilardjito pergi kebelakang untuk mencari anggotanya, tapi keburu ditangkap oleh satu peleton pasukan tentara berseragam doreng dan berbaret merah, tampa tanda pengenal. Bersama dengan 12 orang lainnya, dia digiring ke sebuah truk, lalu dilucuti dan dibawa ke Jakarta dan dimasukkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di jalan Budi Utomo. Setelah berada dipenjara dia mengaku tidak tahu apa yang terjadfi selanjutnya di Istana Jakarata dan Bogor. Setelah di tahan lebih dari enam bulan, dia baru diiterogasi Terpeda Jaya, oleh seorang CPM berpangkat mayor yang namanya tidak diingat lagi. Dalam interogasitersebut, dia didakwa sebagai komplotannya Kol Maulwi Saelan seorang Ajpri (Ajudan Pribadi), dia menjawab tidak kenal Aidit. Ditanya siapa  yang menempatkannya di istana, dia menjawab Wakasad Gatot subroto, tapi justru dia dimarahi karena mengungkit-ungkit orang yang sudah mati. Selain itu dia dituduh PKI karena berani menodong Jendral ketika mengadap presiden. Setelah tiga tahun di penjara dia baru memperoleh kabar bahwa yang membuat supersemar adalah Ali Murtopo dan Alamsyah yang kemudian oleh soeharto diangkat menjadi Menteri penerangan dan Menteri Agama. Merujuk fakta sejarah inilah, keterlibatan soeharto sebagi factor utama dalam merekayasa Supersemar itu sebagai “Surat Pemberontakan Sebelas Maret” atas kebasahn soekarno sebagai presiden. keberhasilan Soeharto yang diagung-agungkan sepanjang sejarah Orde baru. Seolah-olah pergantian kekuasaan adalha murni berangkat dari inisiatif presiden soekarno sendiri. Padahal setelah kepalsuan sejarah itu terbongkar, soekarno pada awal sama sekali tidak menduga bahwa supersemar yang ditandatangnin itu ternyata disalahgunakan oleh soeharto dan dijadikan sebagai alat delegitimasi untuk meruntuhkan kekuasaan orde lama.

Dan disinihlah kita melihat sosok soeharto sebagai aktor di balik terjadinya peristiwa-peristiwa bersejarah yang telah dibengkokkan sedemikian rupa, termasuk didalamnya ada peristiwa Supersemar yang kontroversial itu. Peristiwa Supersemar adalah tak ubahnya “pertarungan sejarah” yang senantiasa menghasilkan kekalahan dan kemenangan. Dalam konteks ini, soeharto adalah salah satu pihak yang keluar sebagai pemenang, dan berhak  mendapatkan gelar sebagai “The Living Legend” sedangkan soekarno hanya kurang beruntung karena sejatinya ia “kalah” dalam sebuah pertarungan yang diwarnai dengan kecurangan. Kejeniusan Soeharto dalam upayanya menggulingkan Presiden Soekarno sebenarnya hanya terletak pada kepiawaiannya dalam memanfaatkan sekecil apa pun setiap kesempatan. Instabilitas sosial-politik pasca serangan G30S/PKI, misalnya dijadikan sebagai kesempatan emas untuk memaksa presiden Soekarno membuat dan menandatangani supersemar sebagai surat mandat. Tetapi “keterpaksaan” presiden Soekarno dalam konteks ini bukan menunjukan betapa ia sangat lemah, tidak pandai dan kerdil dalam mengadapi serangan dari musuh yang tidak lain adalah anak buahnya sendiri. Sebab posisi soekarno pada waktu itu benar-benar tertekan,ditodongdan berada dalam kondisi “keterpurukan” yang memang sudah direkayasa sebelumnya. Disituhlah kelebihan soeharto dalam memanfaatkan setiap kesempatan yang menurutnya sangat berarti dalam proyek jangka panjang. Membangun imperium otoritarianisme berkedok demokrasi. Kesuksesan  Soeharto selama 32 tahun meminpin negeri ini diawali dengan pertumpahan darah yang berlangsung pada 1 oktober 1965 – 11 maret 1966. Melalui kedua peristiwa dengan mudah itulah Soeharto yang menempatkan dirinya sebagai sosok pejuang. Dia membangun image sebagai pemberontak PKI, bahkan melalui media massa, Soeharto melakukan indroktrinasi massal Di situlah sebenarnya “kelebihan” Soeharto dalam memanfaatkan setiap kesempatan yang menurutnya sangat berarti dalam proyek jangka panjang: membangun imperium otoritarianisme berkedok demokrasi. “Kesuksesan” Soeharto selama 32 tahun memimpin negeri ini diawali dengan pertumpahan darah yang berlangsung pada 1 Oktober 1965 - 11 Maret 1966. Melalui kedua peristiwa yang dilalui dengan “mudah” itulah Soeharto menempatkan dirinya sebagai sosok pejuang. Ia membangun image sebagai pemberontak PKI, aktor utama di balik serangan umum 1 Maret 1949, dan lain sebagainya. Bahkan melalui media massa, Soeharto melakukan indoktrinasi massal untuk menunjukkan kegigihannya. Sehingga rakyat pun tanpa sadar menyebutnya sebagai “The Living Legend” atas peranannya dalam peristiwa-peristiwa penting. Dr. Asvi Warman adam dalam Seabad Kontroversi Sejarah (2007), mengatakan: “Kalau diperhatikan periode 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 tampak perkembangan peristiwa yang demikian cepat dan luar biasa. Soeharto adalah seorang ahli strategi yang handal. Tetapi ia bukan seorang grand master yang mampu menghitung 10-15 langkah ke depan di papan catur. Ia lebih banyak beruntung karena piawai memanfaatkan kesempatan. Bisa saja periode 6 bulan setelah peristiwa 1 Oktober 1965 itu disebut sebagai ”Kudeta Merangkak.” Tetapi ini adalah sebah drama tanpa sutradara dan sekenario yang ketat. Soeharto bukan dalang melainkan pemain yang mampu berimprovisasi. Demikianlah menurut penilaian Dr. Asvi Warman Adam. Soeharto sebenarnya lebih banyak tertolong oleh keberuntungan dan keberuntungan. Namun sayang, keberuntungan ternyata tidak selamanya datang dan berpihak. Kasus penyalahgunaan Supersemar akhirnya terbongkar seiring runtuhnya Soeharto dengan Orde Barunya. Soeharto kesusahan mencari perlindungan karena tidak mungkin mengelak dari fakta sejarah yang sesungguhnya. Walaupun sampai saat ini pengusutan terhadap kasus tersebut kurang menunjukkan keseriusan, namun rakyat kini sudah paham bahwa Soeharto bukanlah sosok yang patut dihormati dan dihargai sebagai “The Living Legend”.

1 Maret 1966, sejarah Indonesia mengalami titik balik. Sebuah rezim mulai runtuh. Dan sebuah babak baru lahir. Instrumen yang mengubah sejarah itu cuma secarik kertas, yang ditandatangani Presiden Soekarno hari itu: Surat Perintah Sebelas Maret, biasa disingkat Supersemar. Lewat surat itu Presiden memberikan wewenang kepada Letjen Soeharto, waktu itu Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil “segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi”. Lewat surat itulah kekuasaan Presiden Soekarno mulai terkikis. Dan Jenderal Soeharto muncul sebagai pimpinan nasional yang baru. Menjelang 11 Maret 1971 itu Presiden Soeharto untuk pertama kali menjelaskan latar belakang dan sejarah lahirnya Supersemar karena, katanya, rakyat Indonesia memang berhak mengetahuinya. “Supersemar merupakan bagian sejarah yang sangat penting untuk meluruskan kembali perjuangan bangsa dalam mempertahankan cita-cita kemerdekaan dan memberi isi kemerdekaan,” ujarnya. Intisari penjelasan  Kepala Negara: ia tidak pernah menganggap SP 11 Maret itu sebagai tujuan untuk memperoleh  kekuasaan mutlak. “Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup secara terselubung,” katanya tegas.

Supersemar memang peristiwa bersejarah. Ada yang menyebutnya “tongkak sejarah Orde baru”, atau “momentum Orde baru” presiden soeharto sendiri menyebutnya “awal perjauangan Orde baru”. Meski beberapa kali dilakukan usaha merekontruksikan peristiwa itu, antara lain pada 1976 oleh pusat sejarah ABRI yang waktu itu dipimpin Nugroho Notosusanto (almarhum), masih sering terjadi kesimpangsiuran mengenai peristiwa penting itu. Misalnya yang terjadi pada 1982, tatkala muncul kisah lahirnya versi Hasjim Ning, yang kemudian dibantah sendiri oleh pengusaha tersebut. Tamapaknya belum semua hal terungkap seputar kelahiran supersemar. Bukan cuma itu saja. Di sana-sini masih ada cerita yang tidak klop. Mungkin pelacakan secara lengkap perlu dilakukan, mumpung masih banyak pelakunya yang masih ada. Surat asli supersemar sendiri kabarnya hingga kini masih hialang. Maklum, di saat itu keadaan cukup kacau hingga mungkin kesadaran mendokumentasi masih kurang.   

Alkisah

Istana Bogor, Jumat 11 Maret 1966. Deru suara helikopter memecahakan keheningan Istana sekitar pukul 11.00 wib. Helikopter Bell kepresidenan mendarat di lapangan Istana. “kok siang-siang begini datang, biasanya ‘kan sore,” pikir Ny. Hartini Soekarno sambil keluar pavilyun Istana menjemput suaminy. Presiden soekarno setiap Jumat sore memang menginap di Istana Bogor, dan kembali ke Istana Merdeka senin pagi. Dengan dikawal bridjen Sabur, ajudan presiden sekaligus Komandan Resimen Cakrabirawa (satuan pengawal presiden), Bung Karno, yang berpakaian unifrom    

Istana Bogor, Jumat 11 Maret 1966. Deru suara helikopter memecah keheningan Istana sekitar pukul 11 siang. Helikopter Bell kepresidenan mendarat di lapangan Istana.

“Kok siang-siang begini datang, biasanya ‘kan sore,” pikir Ny. Hartini Soekarno sambil keluar pavilyun Istana menjemput suaminya.

Presiden Soekarno tiap Jumat sore memang menginap di Istana Bogor, dan kembali ke Istana Merdeka Senin pagi. Dengan dikawal Brigjen Sabur, ajudan Presiden sekaligus Komandan Resimen Cakrabirawa (satuan pengawal presiden), Bung Karno, yang berpakaian uniform presiden warna abu-abu, memasuki pavilyun. Ia memakai pici, dan tak lupa membawa tongkatnya.

“Pagi-pagi kok sudah ada di Bogor, Mas,” ucap Ny. Hartini. Bung Karno, yang datang dengan muka keruh, hanya menjawab pendek, “Tien, keadaan genting.” Soekarno kemudian masuk kamar, berganti pakaian. Ia sembahyang lohor dan makan siang.

Menu siang itu: sayur lodeh, tahu, dan tempe — makanan kesukaan Bung Karno. “Bapak hanya makan sedikit. Kelihatannya nafsu makannya tidak baik,” cerita Ny. Hartini. Selesai makan siang, Soekarno beristirahat. Saat itu sekitar pukul satu siang.

Tak lama kemudian deru helikopter yang mendarat menggemuruh lagi. Isinya Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Subandrio dan Waperdam III Chaerul Saleh. “Mereka menuju pavilyun saya, yang terletak di sebelah kiri pavilyun Bung Karno, dan saya persilakan duduk. Pak Sabur datang dan berbicara dengan mereka. Ia lalu mengantar mereka ke pavilyun yang disediakan untuk tamu,” kata Mangil Martowidjojo, yang saat itu menjabat Komandan Detasemen Kawal Pribadi Resimen Cakrabirawa.

Sekitar pukul 2, sebuah helikopter mendarat lagi. Kali ini yang turun Menteri Veteran Mayjen Basoeki Rahmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen Jusuf, dan Pangdam V Jaya Brigjen Amir Machmud. Semuanya berseragam militer. Mereka langsung menuju pavilyun tempat pengawal, dan disambut Sabur. “Bur, kami datang ingin ketemu Bapak,” kata Basoeki Rahmat. Sabur menjelaskan, Bung Karno sedang beristirahat. “Kalau begitu, akan kami tunggu,” jawab Basoeki Rahmat. Seingat Ny. Hartini, Bung Karno siang itu beristirahat sekitar dua jam.

Kira-kira pukul 14.30 (ini menurut penuturan Jenderal Jusuf pada 1973), Sabur datang dan mengatakan Bung Karno bisa ditemui. Ketiga jenderal itu lalu dibawa ke ruang tamu Istana yang dindingnya bercat putih itu. Soekarno yang mengenakan celana kolor dan kaus oblong putih menerima mereka. Raut mukanya keruh. “Mau apa kalian ke sini?” tanyanya. Basoeki Rahmat sebagai jenderal tertua dalam rombongan itu memulai berbicara, mewakili yang lain. “Kami sengaja datang untuk menemui Bapak untuk menunjukkan kami tidak meninggalkan Bapak. Kami tidak ingin Bapak merasa telah ditinggalkan oleh ABRI, oleh Angkatan Darat. Kami menyesalkan terjadinya peristiwa pagi tadi. Tapi kami harap Bapak Presiden tidak terpengaruh oleh kejadian itu.”

Sikap Bung Karno ternyata masih keras. “Apa? Kau bilang aku jangan terpengaruh? Aku tidak usah gelisah? Kau mengatakan Angkatan Darat tidak meninggalkan aku? Kalian sendiri tahu, Angkatan Darat ikut demonstrasi. Ikut menjatuhkan saya. Kalian susupkan anggota RPKAD dan Kostrad di antara pemuda dan mahasiswa itu. Untuk apa kalau bukan untuk menyerang saya?”

Kemarahan Bung Karno bisa dimengerti. Pagi 11 Maret itu di Istana Negara ada sidang kabinet. Sebelum sidang dimulai, Presiden Soekarno menanyakan pada Amir Machmud apakah situasi aman hingga sidang kabinet bisa dilangsungkan. Pangdam V Jaya ini memberikan jaminannya bahwa situasi aman. Namun, di tengah sidang, mendadak Brigien Sabur menyampaikan suatu nota kepada Presiden Soekarno. Isinya ternyata laporan tentang adanya pasukan tak dikenal, karena tak memakai tanda pengenal, meski memakai senjata, di sekeliling Istana. Setelak berbicara dengan Subandrio, Bung Karno lalu menskors sidang, dan menyerahkan pimpinan sidang pada Waperdam Leimena.

Rupanya, laporan tentang munculnya “pasukan liar” itu mengguncangkan Presiden Soekarno, yang tampaknya menduga, pasukan itu dikerahkan pihak Angkatan Darat yang menentangnya. Karena itulah ia menghentikan sidang kabinet, meninggalkan istana, dan menuju ke helikopter, diikuti Subandrio yang terbirit-birit hingga sepatunya tertinggal, serta Chaerul Saleh. Bung Karno, yang mungkin merasa situasi Jakarta terlalu panas, terbang ke Istana Bogor.

Hari-hari itu suasana Jakarta memang panas dan bergolak. Hampir tiap hari terjadi demonstrasi KAMI dan KAPPI. Lima bulan setelah Peristiwa G-30-S/PKI, penyelesaian politik yang dijanjikan Presiden Soekarno belum juga terjadi. Meski kegiatan PKI telah dilarang oleh sejumlah penguasa militer, secara resmi PKI belum dibubarkan. Sementara itu, situasi ekonomi makin parah. Pemerintah pada 13 Desember 1965 telah memotong nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Namun, harga kebutuhan hidup makin melonjak. Masyarakat merasa gelisah. Demonstrasi-demonstrasi itu umumnya diorganisasikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang makin lama tumbuh makin besar dan kuat. Corat-coret dan yelyel para demonstran itu keras dan menuding pemerintah: “Turunkan harga beras”, “Singkirkan menteri-menteri yang tidak becus”, atau “Ganyang Subandrio”. Waperdam Subandrio memang menjadi sasaran, karena ia — yang kemudian mendapat julukan Durno — dianggap “dekat” dengan PKI. Namun, terhadap Presiden Soekarno, para mahasiswa dan pemuda masih bersikap toleran. Yel-yel “Hidup Bung Karno” masih diteriakkan para demonstran itu. Pada 10 Januari 1966 dicetuskanlah Tri tuntutan Rakyat (Tritura): Bubarkan PKI, Rombak Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga.

Aksi-aksi mahasiswa dan pemuda makin menghebat. Meski menyerang pemerintah dengan tuntutan seperti “Ritul Menteri Goblok”, belum muncul kecaman langsung terhadap Presiden Soekarno. Para pemimpin mahasiswa malah berkata: aksi-aksi mahasiswa itu selalu sejalan dengan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Bung Karno sendiri menuduh, kerusuhan dan keguncangan yang terjadi didalangi oleh pihak kontrarevolusi dan nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme) yang mau menjatuhkan dia. Dalam suatu sidang kabinet di Istana Bogor pada 15 Januari 1966 dengan marah ia berseru, “Ini Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Siapa yang mau ikut saya, ikutlah. Saya yang bertanggung jawab pada Revolusi. Ini aku Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Siapa yang senang pada Soekarno, ayo susun barisan, pertahankan, kumpulkan barisan. Jangan bertindak liar. Tunggulah komando saya. Saya tidak mau didongkel-dongkel dari belakang.”

Kekuasaan Presiden Soekarno saat itu memang masih besar. Meski banyak yang tidak puas dengan sikapnya yang dianggap melindungi PKI dengan menolak desakan untuk membubarkan partai itu, serta cara penanganan masalah ekonomi yang payah, kedudukannya bagai tak tergoyahkan. Sebagian ABRI waktu itu, terutama AL, AU, dan Kepolisian, mendukung dia. Karena seruan Bung Karno, atas ajakan Subandrio dibentuklah Barisan Soekarno. Dalam pidato radionya, Subandrio juga mengecam keras aksi-aksi mahasiswa, yang dinilainya melampaui batas kesopanan. “Apakah perbuatan mahasiswa itu benar-benar berasal dari mereka sendiri? Ataukah penunggangan dari musuh-musuh revolusi, baik nekolim dari luar maupun kontrarevolusi dari dalam, yang menyelewengkan niat baik mahasiswa kita?” katanya. Tuduhan Subandrio ini menggusarkan mahasiswa. Serta merta Subandrio dijuluki “Anjing Peking” atau “Haji Peking”.

Meski Pepelrada Jaya sejak 16 Januari melarang demonstrasi, para mahasiswa melawannya dengan mengirim delegasi-delegasi menemui para pejabat. Bentrokan fisik mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dengan kelompok pemuda dan mahasiswa marhaen mulai terjadi di beberapa tempat. Dengan berbagai cara, antara lain gerak jalan, pawai, atau apel siaga, aksi-aksi pemuda dan mahaslswa berjalan terus.

Pada 21 Februari Presiden Soekarno merombak kabinet. Susunan kabinet yang baru ternyata tidak memuaskan banyak pihak, termasuk para mahasiswa, karena sejumlah menteri dianggap dekat atau pro-PKI dipertahankan atau dimasukkan. Dengan dalih mengadakan “Apel Besar Kesetiaan pada Presiden Soekarno”, pada 23 Februari KAMI menyelenggarakan demonstrasi lagi. Tatkala berniat “menyampaikan resolusi” ke Sekretariat Negara, terjadi bentrokan dengan petugas keamanan. Beberapa mahasiswa terluka kena tembakan. Mahasiswa yang marah lalu merusakkan kantor Setneg.

Kamis 24 Februari 1966, Kabinet Dwikora yang disempurnakan – yang diejek sebagai Kabinet 100 Menteri — akan dilantik. Para mahasiswa sejak pagi buta melancarkan aksi pengempisan ban di jalan-jalan utama Jakarta. Jakarta macet total. Pelantikan berjalan terus, meski sebagian menteri harus dijemput dengan helikopter atau dengan berbagai cara menembus demonstrasi yang mengepung Istana. Di tengah kegalauan itu terdengar suara tembakan. Beberapa demonstran tertembak. Seorang di antaranya, Arief Rachman Hakim, tewas, kena tembakan pasukan Cakrabirawa. Esoknya, upacara penguburan Arief — yang diperlakukan sebagai martir — dilanjutkan dengan aksi unjuk perasaan. Ratusan ribu orang memadati jalan dan menyaksikan iringan jenazah menuju pemakaman Blok P, Kebayoran Baru. Sorenya, muncul sas-sus pasukan Cakra akan menyerang kampus UI Salemba, yang dijadikan markas mahasiswa. Beberapa panser Kostrad segera dikirim ke UI untuk menjaga. Para pimpinan mahasiswa dilindungi, dan mereka, ‘antara lain Cosmas Batubara, David Napitupulu, Zamroni, Lim Bian Kun, menginap di markas Kopur Kostrad. Yang terjadi selama aksi demonstrasi berlangsung memang itu: para mahasiswa mendapat dukungan dan bekerja sama dengan sebagian Angkatan Darat, terutama RPKAD dan Kostrad.

Karena itu, meski sejak 26 Februari KAMI dibubarkan pemerintah, aksi demonstrasi menuntut pelaksanaan Tritura bisa berjalan terus, antara lain lewat KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia) yang dibentuk pada 9 Februari 1966. Timbul ide di kalangan pimpinan Kostrad untuk mengerahkan pasukan tanpa tanda pengenal di sekeliling Istana, menurut Kepala Staf Kostrad waktu itu, Kemal Idris, guna mencoba menangkap Subandrio serta mengawasi gerakan pasukan Cakrabirawa. Di samping itu, pengerahan sekitar 200 orang pasukan RPKAD dan Kostrad tanpa tanda pengenal itu,juga untuk melindungi aksi-aksi mahasiswa dan pemuda. “Pak Harto sudah berpesan pada saya, supaya melindungi anak-anak muda tersebut dari serangan Cakrabirawa,” ujar Kemal Idris, waktu itu Kepala Staf Kostrad. Menurut Kemal, Jenderal Soeharto menaruh harapan pada anak-anak muda yang mendemonstrasi kepemimpinan Bung Karno tersebut. Kemal saat itu dianggap dekat dengan para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI. Kepala Staf Kostrad itu juga ditugasi memimpin semua pasukan yang ada di Jakarta. “Terutama dari Angkatan Darat, mengingat KKO dan Angkatan Udara waktu itu tidak bisa dipercaya.

Memang dari Angkatan Darat sendiri juga ada yang terlibat G-30-S/PKI tapi bisa kami atasi,” kata Kemal. Amir Machmud, sebagai Pangdam V Jaya, ketika itu membawahkan pasukan teritorial, tapi secara operasional di bawah Kemal Idris. Sedangkan Umar Wirahadikusumah, sebagai Panglima Kostrad, berada di atas Kemal. Meski dengan berbagai cara berusaha menekan Bung Karno, menurut penegasan sejumlah tokoh AD, saat itu tidak ada maksud Angkatan Darat untuk menjatuhkan Presiden Soekarno.

Tekanan tersebut tampaknya untuk mendesak Presiden Soekarno agar segera melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa G-30-S/PKI dengan secara formal membubarkan PKI. Namun, Bung Karno waktu itu selalu mengatakan: selama keadaan dalam negeri belum lagi tenang, ia susah untuk mengambil keputusan tentang penyelesaian politik itu. Misalnya dalam pidatonya 23 Januari 1966, Bung Karno berkata, “Aku berulang-ulang minta tenang, tenang, dan apa yang kita lihat dan apa yang kita saksikan? Tenang tenang ini tidak ada, mana pula belakangan ini timbul demonstrasi macam-macam.” Di dalam konstelasi politik saat itu, Angkatan Darat merupakan kekuatan yang menentukan. Posisi sepuluh parpol yang ada waktu itu kurang kuat, terutama karena sebagian besar pimpinannya dinilai pernah bekerja sama dengan PKI. Sikap mereka ketika itu, oleh pihak mahasiswa, dianggap plintat-plintut dan menentang aksi mahasiswa.

Pada 10 Maret, seusai pertemuan dengan Presiden Soekarno di Istana Merdeka, misalnya, para pimpinan parpol mengeluarkan pernyataan yang tidak bisa membenarkan cara yang digunakan pelajar, mahasiswa, dan pemuda “yang bisa membahayakan jalannya revolusi dan merongrong kewibawaan PBR Bung Karno.” Mereka juga bertekad bulat “untuk melaksanakan tanpa reserve” perintah harian Presiden Soekarno 8 Maret. Perintah harian itu sendiri pada pokoknya memerintahkan pada seluruh slagorde ABRI, parpol, Golkar, dan ormas untuk “mempertinggi kewaspadaan menghadapi segala macam penyusupan dan hasutan yang bermaksud memecah belah persatuan.” Di samping itu, juga “menghancurkan segala usah yang merongrong kewibawaan, kepemimpinan dan kebijaksanaa PBR/Presiden/Mandataris MPRS Bung Karno.” Meski begitu, sebagian kecil pimpinan parpol, terutama yang bergabung dalam Komando Aksi Pengganyangan Gestapu, bekerja sama dengan mahasiswa dan pemuda dan AD, menentang Presiden Soekarno.

Hingga sampailah hari itu, 11 Maret 1966. Bung Karno, yang tampaknya panik oleh kehadiran “pasukan tak dikenal” di sekitar Istana, menyingkir ke Bogor. Sidang kabinet kemudian dibubarkan Waperdam Leimena. Keluar dari Istana, kebetulan Basoeki Rahmat, M. Jusuf, dan Amir Machmud berjalan bersama. Jusuf mengajak keduanya untuk pergi menemui Bung Karno di Bogor dan berbincang-bincang, sehingga Bung Karno tidak merasa telah ditinggal Angkatan Darat. Keduanya bersedia. Menteri/Wakil Menko Hankam Mayjen Mursid, yang waktu itu hadir dan ikut diajak, menolak. Menurut Amirmachmud, ia mengusulkan agar mereka melapor dulu ke Pak Harto. Bertiga mereka kemudian pergi ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat. Hari itu kesehatan Pak Harto terganggu hingga tidak dapat menghadiri sidang kabinet. “Pada waktu menghadap Pak Harto itu, kami menjelaskan jalannya sidang kabinet. Kemudian kami meminta izin kepada Pak Harto untuk pergi ke Bogor dengan maksud untuk menenteramkan Bung Karno,” cerita Amir Machmud. Mereka juga menanyakan apakah Pak Harto ada pesan yang perlu disampaikan pada Bung Karno.

Menurut Amir Machmud, Pak Harto waktu itu mengatakan, “Pertama, sampaikan salam saya kepada Bung Karno. Kedua Bung Karno tak usah khawatir. Kita sanggup menyelamatkan Pancasila, UUD 1945, menyelamatkan Revolusi Indonesia dan memelihara keamanan, asal diberi kepercayaan untuk itu.” Jadi, ‘kata Amir Machmud, Pak Harto tidak pernah membicarakan kemungkinan adanya surat perintah seperti Supersemar itu.

Sikap Soeharto kepada Soekarno waktu itu memang menunjukkan sikap anak kepada bapak. Itu juga terlihat dari suatu dialog antara Pak Harto, yang waktu sudah diangkat menjadi Pangkopkamtib, dan Bung Karno, di Istana Merdeka, di awal 1966, di saat demonstrasi mahasiswa mewarnai suasana Jakarta. Waktu itu Bung Karno menanyakan pada Pak Harto,:

“Harto, aku ini akan kamu apakan? Aku ini pemimpinmu. Aku iki arep tok kapakke”

“Bapak Presiden,” jawab Pak Harto, “saya ini anak petani miskin.’Tetapi ayah saya selalu mengingatkan saya untuk selalu menghormati orang tua. Saya selalu diingatkan untuk mikul duur mendem jero (menghormat) terhadap orangtua.”

“Bagus,” jawab Bung Karno.

“Bapak tetap saya hormati, seperti saya menghormati orangtua saya. Bagi saya, bapak tidak hanya pemimpin bangsa, tetapi saya anggap orangtua saya. Saya selalu ingin mikul dulaur terhadap Bapak. Sayang, yang mau dipikul duvur mendem jero tidak mau,” kata Pak Harto.

“Betul begitu, To?”

“Betul, Pak. Insya Allah. Soalnya tergantung Bapak.”

“Nah. Kalau betul kau masih menghormati aku dan menghargai kepemimpinanku, kuperintahkan kau menghentikan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa itu. Aksi-aksi mereka sudah keterlaluan. Tidak sopan. Liar. Mereka sudah tidak sopan dan hormat kepada orang tua. Mereka tidak bisa dibiarkan, Harto. Kau, kuminta mengambil tindakan terhadap mereka.”

“Maaf, Pak. Saya pikir, masalah ini berkenaan dengan pembenahan negara kita secara keseluruhan. Yang saya maksud, penyelesaian politik mengenai G-30-S/PKI seperti yang Bapak janjikan. Kalau sekarang Bapak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa PKI dibubarkan dan dilarang, saya percaya mahasiswa itu akan menghentikan aksi-aksinya. Karena itu yang dituntut oleh mereka.”

“Penyelesaian politik G-30-S/PKI lagi yang kau sebut, Harto. Kamu tadi mengatakan tetap menghormati kepemimpinanku.”

“Tak pernah goyah, Pak.”

“Kalau begitu, laksanakan perintahku,” kata Bung Karno. Pak Harto tidak menjawab. Bung Karno juga terdiam.

Menilik dialog semacam itu, bisa dimengerti kalau Bung Karno juga meledak-ledak ketika tiga jenderal, Basoeki Rahmat, Jusuf, dan Amir Machmud, menemuinya, siang 11 Maret 1966 itu. Ia memarahi Amir Machmud, yang selalu melapor bahwa keadaan aman.

“Apanya yang aman? Demonstrasi berlangsung terus. Kau itu penanggung jawab keamanan Ibu Kota. Apa yang kau lakukan untuk menghentikan demonstrasi itu?” Ia juga menegur Basoeki Rahmat dan Jusuf.

“Kalian juga tidak berbuat apa-apa.” Ia menuduh ketiga jenderal itu berpura-pura, dan sebenarnya ingin agar Soekarno jatuh.

Mereka bertiga membantah. Kata Basoeki Rahmat, “Itu tidak benar, Pak. Tidak ada niat meninggalkan Bapak. Apalagi menjatuhkan Bapak. Kalau ada niat seperti itu, tentu kami tidak datang kemari.” Bung Karno terdiam. Ia kemudian menanyakan kemungkinan jalan keluar situasi. Jusuf menyarankan agar Bung Karno memerintahkan Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan.

Amir Machmud menambah, “Ya, Pak. Tadi Pak Harto juga berpesan sanggup mengatasi keadaan, kalau Bapak Presiden memberikan kepercayaan kepadanya.”

Kepercayaan? Kepercayaan apa lagi yang harus kuberikan kepadanya? Jenderal Soeharto sudah kuangkat menjadi Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Tapi coba, sampai sekarang tidak aman dan tidak tertib,” jawab Bung Karno.

“Mungkin diperlukan kepercayaan lebih lagi, Pak,” kata Amirmachmud. 

“Kepercayaan lebih bagaimana? Apa maksudmu? “

“Semacam surat perintah, misalnya,” sahut Amir Machmud. Soekarno terdiam.

Matanya menatap tajam ketiga jenderal itu. Juga kepada Sabur, yang ikut hadir di situ. Akhirnya Bung Karno setuju. Keempat jenderal itu diperintahkannya membuat konsep surat perintah itu. Selembar kertas disodorkan ke Basoeki Rahmat. Jenderal kelahiran Tuban, Ja-Tim, yang dikenal pendiam itu lalu mengeluarkan pena. Ia mengucapkan “Bismillahirrochmanirrohim” lalu mulai menulis.

Surat Perintah. Itu kalimat pertama yang ditulisnya. Konsep itu kemudian disampaikan Sabur kapada Bung Karno. Ia lalu memanggil ketiga Waperdam, Subandrio, Leimena, dan Chaerul Saleh, yang sudah ada di Istana Bogor, dan menanyakan pendapat mereka. Hanya Subandrio yang menjawab, “Kalau Bapak tanda tangani, buntutnya akan panjang.” Mungkin karena tidak memperoleh kesepakatan bulat di antara para pembantu dekatnya, Bung Karno masuk ke kamar kerjanya. Waktu itu ia sudah memakai piyama biru dan memakai sandal Bata warna cokelat. Konon, ia sempat sembahyang. Sekitar satu jam Soekarno berada di kamar kerjanya. Setelah satu jam, konsep awal tadi sudah ada coretannya, dan dikembalikan kepada ketiga jenderal tersebut. Basoeki Rahmat kembali membuat konsep baru, yang kemudian disampaikan Sabur kepada Bung Karno.

Akhirnya mereka berkumpul lagi di salah satu ruangan yang lebih besar.Pada pertemuan ini, Bung Karno telah memakai pakaian lengkap, baju putih. Lengan pendek, celana abu-abu, dan memakai pici. Yang hadir: ketiga jenderal tadi, tiga waperdam, dan Sabur yang tetap berdiri. Suasana agak tegang. Hasil rembukan itu diketik Sabur dengan kertas yang berkop Kepresidenan RI. Akhirnya mereka berkumpul di ruang makan Istana. Bung Karno membaca ketikan konsep yang telah disetujui bersama. “Bagaimana, Ban, kau setuju?” tanya Bung Karno pada Subandrio. “Kalau Bapak Presiden sudah setuju, saya setuju,” jawab yang ditanya. Bung Karno kemudian menandatangani surat perintah yang kemudian sangat terkenal itu.

Setelah itu mereka kembali ke pavilyun Istana. Di ruang tamu, mereka mengobrol sejenak. Bung Karno didampingi Hartini duduk di sofa panjang, sedang ketiga jenderal duduk di depan mereka. Leimena duduk di sebelah kiri Bung Karno, sedang Subandrio dan Chaerul Saleh duduk di kanan Hartini. Sabur tetap berdiri. Di ruangan yang tak berjendela itu, semua pintunya dibuka. Muka-muka yang hadir tampak serius. Tak berapa lama, ketiga jenderal itu mohon diri, memberi hormat dan kemudian bersalaman dengan Bung Karno. Sepulang ketiga jenderal itu, Soekarno masih sempat membaca di ruang tamu.

Sekitar pukul 23.00 ia masuk kamar tidur. Di kamar tidur ia masih juga sempat membaca majalah Selecta. Tapi ia tampak gelisah. Sampai pukul 1.00 ia belum tertidur. “Bapak membolak-balikkan badannya ke kiri, ke kanan,” kata Ny. Hartini mengenang. Setelah minum obat tidur, barulah Bung Karno terlelap.

Dalam perjalanan pulang dari Bogor dengan naik mobil, ketiga jenderal itu sempat membaca kembali Supersemar dengan menggunakan senter. Ketiganya kaget setelah menyadari surat perintah itu berarti penyerahan kekuasaan Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Supersemar memang berisi pelimpahan wewenang kepada Jenderal Soeharto “untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Pangti/PBR/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan negara RI, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran PBR”. Esoknya, Jenderal Soeharto, atas nama Presiden, mengeluarkan perintah harian kepada segenap jajaran ABRI dan mengumumkan kelahiran Supersemar. Perintah harian itu lalu disusul dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS/PBR Nomor 1/3/1966. Isinya: membubarkan PKI termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah serta semua organisasi yang seasas/berlindung/bernaung di bawahnya. PKI juga dinyatakan sebagai organisasi terlarang di seluruh RI. Akhirnya tuntutan rakyat agar PKI dibubarkan terlaksana. Berita itu segera tersebar. Bukti bahwa masyarakat menyambut gembira keputusan itu terlihat dari sambutan massa terhadap pawai kemenangan yang terjadi 12 Maret 1966 itu. Masyarakat di seluruh Indonesia juga menyambut meriah keputusan itu. Dan awal sebuah sejarah baru pun dimulai.